Tuesday, April 5, 2011

RESENSI NOVEL 86

Judul Novel:86
Penulis: Okky Madasari
Penerbit: Gramedia
Tahun :2011
Tebal : 256 hlm.
Harga: Rp. 45.000,-

Melawan Korupsi dengan Sastra
Salah satu karya sastra yang memiliki warna yang sungguh menarik dan berbeda dengan novelis-novelis lain. Novelis lain biasanya membincang persoalan cinta, persahabatan, sosial, keagamaan, atau lainnya, Okky Madasari malah menyuguhkan warna yang sedikit berbeda, novelnya mengupas tuntas persoalan korupsi yang tidak asing dan sangat lekat dengan kondisi sosial di Indonesia.
Novel ini mampu membawa pembaca pada sosok Arimbi yang obsesif dan awalnya lugu. Namun seiring dengan perjalanan sang waktu,ia akhirnya jadi melek untuk melakukan praktek korupsi. Novel ini banyak mengangkat tema tentang keserakahan dan ketulusan, kemunafikan dan kejujuran, serta korupsi yang penuh dengan kebobrokan. Dalam novel ini, Arimbi sebagai seorang juru ketik di kantor pengadilan negeri Jakarta selatan, awalnya tidak tahu secara detail tentang praktek korupsi yang sering terjadi di tubuh institusi tersebut. Ia hanya menjalani perintah atasannya, Bu Darti. Namun perjumpaannya dengan Ananta (yang kemudian menjadi pacar dan suaminya) mendorong dia melakukan praktek korupsi (hal.100)
Kebobrokan pengadilan,oleh penulisnya,berusaha dipertunjukkan ke pembaca betapa hukum tidak lagi menyuarakan keadilan karena kasus-kasus yang dimenangkan adalah orang-orang yang memiliki uang. Yang benar disalahkan dan yang salah dapat dibenarkan oleh hukum. Bahkan proses persidangan dapat dipercepat sesuai permintaan terdakwa. Lagi-lagi,yang bermain adalah uang. Maka tak heran jika Arimbi menemukan berkas persidangan dari tahun 2003, sebagian ada yang robek, terlipat-lipat bahkan ada sebagian tintanya sudah memudar gara-gara menunggu antrian, kasusnya tidak diproses karena tidak ada pelicin (hal 67).
Akibat praktek penyuapan terhadap jaksa atas kasus-kasus yang ditanganinya, sang pengacara, Rudi akhirnya tercium KPK. Dalam perjumpaannya dengan Arimbi di sebuah restoran di Tebet, mereka membicarakan kasus Sasmita yang telah menggelapkan uang proyek sebesar 10 milyar. Setelah perjumpaannya dengan klien, Arimbi menyandangi rumah bu Darti dengan membawa koper berisi 2milyar. Seketika KPK menggeledah dan mendapati uang tersebut sebagai barang bukti penyuapan.
Akibat perbuatan bu Darti dan Arimbi, keduanya divonis hakim masing-masing 7 tahun dan 4,5 tahun.Praktek korupsi tidak saja terjadi di luar penjara, dalam penjara rupanya hukum dapat diperjaul-belikan. Karena bu Darti mempunyai uang, ia membeli kamar sel dengan harga 5 juta per-bulan (hal 151). Lagi-lagi uang yang memenangkan pertarungan dan membungkam keadilan.
Ibu Arimbi,mendengar anak kesayangannya di penjara, jatuh sakit. Ia harus segera dioperasi. Dokter meminta ibu Arimbi cuci darah tiap minggu. Bapaknya telah menjual kebun. Arimbi bingung dari mana harus dapat uang. Tutik, teman sekamarnya memberi solusi untuk menjual shabu. Karena terdesak keadaan,Arimbi tidak punya jalan lain selain menjual shabu selama setengah masa tahanan. Sipir di lapas tersebut memberikan tawaran ke Arimbi akan dibebaskan dengan membayar 15 juta. Arimbi pun mengamininya dan ia terbebas.
Cerita ini, hemat saya, diangkat dari praktek korupsi dan transaksi jual-beli hukum di Negeri ini. Karena begitu parahnya korupsi dan penegakan hukum di Indonesia, Nurcholish Madjid mengilustrasikan ibarat gunung es,jika atasnya ditumbangkan akar gunung es tersebut masih tetap mengakar dan akan berkembang

1 comment:

  1. the firs time my write in media although did not published by them
    im fine and never regret about that

    ReplyDelete